Jalan Raya, Jalan Tol ke Akhirat

20.55.00 kiki 0 Comments



Seperti air mengalir yang mengisi ruang yang kosong, seperti itulah perilaku pengguna jalan di Indonesia. Jalan raya yang harusnya menjadi penyambung jalan ke rumah, seringkali malah jadi pemberhentian terakhir di dunia. Lantas, siapakah dalang dibalik tingginya angka tragedi kecelakaan lalu lintas?

Saat melihat berita di televisi dua hari yang lalu, saya sempat terkejut melihat angka kecelakaan selama musim mudik yang sangat tinggi. Dari laporan berita di Metro TV, Setidaknya ada 856 kasus kecelakaan selama lima hari arus mudik. Lima puluh persennya adalah pengendara kendaraan roda dua. Sedangkan, angka korban meninggal mencapai 170 jiwa lebih.

Padahal angka ini sudah menurun dibandingkan angka kecelakaan tahun lalu. Lebaran tahun lalu, ada 1000 lebih kasus kecelakaan lalu lintas dengan 200 lebih korban jiwa. Bukankah angka ini sangat mengerikan? Bayangkan saja, ada 200 keluarga yang harus memakamkan sanak keluarganya saat harusnya menghapus rasa rindu di Hari Raya Idul Fitri.

Masyarakat tentunya punya seribu satu alasan untuk menyalahkan berbagai pihak. Mulai dari pemerintah yang dituduh melakukan korupsi dana pembangunan jalan,  infrastruktur yang tidak memadai, hingga supir bus yang ugal-ugalan. Namun, sebenarnya, jika kita mau jujur pada diri sendiri, kita sendiri adalah dalangnya.

Tentu saja tidak ada yang bisa menghindari musibah jika memang sudah digariskan. Namun, kita juga harus bercermin pada perilaku berkendara kita. Salah satu pengajar saya pernah bertanya di kelas Manajemen Pemasaran, siapa yang harus disalahkan ketika terjadi banyak sekali kecelakaan lalu lintas karena bus ugal-ugalan?

Jawaban kami pun klasik. Supir bus yang egois, supir bus yang mengantuk, supir bus yang cuman peduli duit tapi tidak keselamatan. Namun, kami terhenyak ketika beliau mengungkapkan yang salah ya kita sendiri. “Bayangkan saja bila ada bus yang jalannya pelan, hati-hati. Masak laku?” celetuk beliau saat itu.

Di saat yang bersamaan, jawaban tersebut juga terkait pada hal yang lebih besar, yakni perilaku berkendara masyarakat di Indonesia. Perilaku yang bagaimana? Tentunya perilaku berkendara yang berorientasi asal cepat sampai. ‘Asal’ karena mayoritas pengguna jalan di Indonesia hanya memperhatikan faktor cepat, bukan keselamatan.

Di kelas yang sama, saya juga sempat membaca penelitian perilaku konsumen yang mengungkapkan kalau keselamatan dan ramah lingkungan adalah dua hal yang paling tidak popular di kalangan konsumen Indonesia. Lengkap lah sudah jawaban mengapa angka kecelakaan di Indonesia amat besar.

Tidak perlu jauh-jauh mencari paper atau berbagai penelitian. Lihat saja sekeliling kita, atau mungkin pada cermin juga. Sudahkah kita memakai helm bahkan di jalan yang tidak dijaga polisi? Apakah kita menarik gas atau rem ketika lampu lalu lintas berubah kuning? Apa kita menyalakan lampu isyarat ketika akan mendahului kendaraan di depan kita? Apa kita ikut membunyikan bel ke kendaraan di depan kita padahal lampu belum hijau?

Tak perlu menjawab pertanyaan di atas keras-keras. Karena tulisan ini bukan ajang pembuktian diri atau pengakuan dosa. Kesalahan diatas mungkin sangat umum di lingkungan kita. Namun, dosa bersama atau tidak, perilaku tersebut merupakan contoh kontribusi kecil kita pada tingginya angka kecelakaan di negeri ini.

Dalam tingkat ekstrim, saya melihat sendiri banyak motor yang berani mendahului bus, padahal bus 
sudah menyalakan lampu isyarat belok. Ironis bukan? Padahal kita yang memberi bus reputasi sebagai jagal jalan raya. Namun, seperti kambing yang memasukkan kepalanya ke mulut singa, kita sendiri yang bermain dengan maut.

Tentu saja selain perilaku pengguna, banyak faktor lain yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Misalnya saja ‘ranjau’ jalan raya yakni lubang jalan menganga, jalur kereta api tak berpalang, jalan beraspal yang tidak rata hingga faktor alam seperti cuaca. Namun harusnya faktor tersebut dibarengi dengan peningkatan kewaspadaan pengguna jalan. Bukan malah menjadi arena balapan dan atraksi menghindar dari rintangan layaknya film action Hollywood.

Jika kita masih berperilaku berkendara ugal-ugalan, ingatlah kita bukan satu-satunya yang akan rugi apabila terkena musibah kecelakaan. Tak apa kalau kita sendiri yang rugi, bagaimana kalau karena kelalaian kita, orang lain yang jadi korbannya? Masih bisakah uang ganti rugi kita menghapus duka keluarga korban kelalaian kita?

Untuk itulah, sebagai pengguna jalan raya kita harus senantiasa memperhatikan etika berkendara. Terutama bagi mereka yang harus kembali ke perantauan di arus balik lebaran saat ini. Pengendara harus senantiasa meningkatkan kewaspadaan dalam berkendara. Hal ini mengingat kepadatan kendaraan yang berkali lipat dari biasanya. Jangan sampai jalan raya yang dibangun untuk memudahkan jalan pulang, malah menjadi jalan tol kita ke akhirat.

Saktia Golda S
Mahasiswa Jurusan Desain Produk IndustrI 
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Angkatan 2013








You Might Also Like

0 komentar: