Merakit Mimpi Dari Bumi Cenderawasih: Kisah Mahasiswa Papua di ITS

11.02.00 kiki 2 Comments




Dari timur mereka berangkat, dengan sekantong mimpi dan segenggam tekad. Kolam susu dan tanah madu mereka tinggalkan, untuk segulung ijazah dan sebongkah kebanggaan. Dari timur mereka berhijrah menyentuh barat. Dan di Kampus ITS ini, kisah putera Jayapura ini dimulai.


Hitam kulit keriting rambut aku papua, biar nanti langit terbelah aku papua.

Lirik lagu Tanah Papua karya Endo Kondologit ini nampaknya sangat tepat menggambarkan sosok Junus Martin Alberto Bareck, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dari Papua. Berjalan dengan pakaian rapi dan langkah percaya diri, Junus menembus gerombolan mahasiswa lain yang memiliki ciri fisik yang berbeda dengannya.

Meskipun tak berkulit sawo matang dan berambut ikal layaknya masyarakat Indonesia kebanyakan, Junus tidak pernah terlihat kikuk. Dengan logatnya yang khas Indonesia timur dan cara berbicaranya yang ekspresif, Junus menceritakan mengenai kehidupannya di kampus perjuangan selama tiga tahun belakangan.

Kisah Junus dimulai di pertengahan tahun 2013 di tanah Raja Ampat, tempatnya menimba ilmu selama satu tahun terakhir. Saat itu, Junus baru menerima kabar bahwa dia diterima di ITS Jurusan Teknik Elektro. Tak hanya itu, Junus juga mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Daerah Papua untuk menimba ilmu di ITS bersama enam siswa papua lainnya.

Rasa antusias berbalut gugup menyelimutinya, memikirkan kehidupan baru jauh dari bumi cenderawasih yang menimangnya sejak kecil. Apalagi, nanti dia juga harus hidup jauh dari orang tua yang masih membujuknya untuk tinggal.

Maklum, nama ITS tak begitu mentereng di Papua. Apalagi tak banyak kawannya dari Papua yang cukup punya nyali untuk meninggalkan kampung halamannya. Kebanyakan temannya masih bahagia hidup bersama dayung dan kano di perairan Raja ampat. Memungut dolar dan euro dari turis yang datang dari jauh untuk mencicipi secuil surga di bagian paling timur Indonesia.

Namun, Junus memiliki pemikiran berbeda. Waktu itu, putera semata wayang ini masih dibungkus idealisme dan hasrat untuk membuktikan diri. Bayangan mampu membawa pulang gelar sukses di tanah orang begitu membuai hingga tekadnya membulat untuk melenggang.

Namun beda harapan, beda lagi dengan kenyataan. Bulan awalnya menginjakkan kaki di ITS adalah saat yang paling menguji kekukuhan mimpinya. Ketika pertama menjalani tahap awal pengenalan di ITS, Junus mengaku dihantam rasa tidak percaya diri dan kegugupan yang hebat.

Hal ini karena dia minder dengan kamampuan akademisnya dibanding teman seangkatannya dari Jawa. Maklum, membandingkan pendidikan sekolah di Jawa dan Papua memang seperti membandingkan Langit dan Bumi.

Bila di Jawa siswa kelas tiga SMU sudah bangun dari liburnya dan mulai pengayaan ujian nasional, di Raja Ampat Junus harus berkutat dengan buku biologinya seorang diri karena tidak ada guru biologi di sekolahnya.

Jam yang harusnya digunakan untuk belajar juga acapkali diberhentikan karena banyak alasan. Mulai dari guru yang tidak menghadiri jam mengajarnya, hingga demonstrasi dari forum pembela Papua Barat Merdeka yang acapkali memutus jalan Junus ke sekolahnya.

Setelah berdiskusi dengan Dr Ismaini Zain MSc, ketua BAAK waktu itu, Junus memutuskan untuk bertolak dari Jurusan Teknik Elektro ke Jurusan Arsitektur. Dia mengaku khawatir dengan kualitas pendidikannya di Raja Ampat, dia tidak akan mampu mengejar ketertinggalannya dengan mahasiswa lain dari Jawa.” Apalagi Jurusan Teknik Elektro memiliki reputasi membuat botak mahasiswanya,” ujarnya. Dia mengaku tidak menyesal dengan keputusannya. “Malah kalau saya tetap di Teknik Elektro, saya mungkin sudah hengkang dari ITS sejak lama,” ucapnya disambut dengan kelakar tawa.

Menurutnya, tidak banyak kampus seperti ITS yang memberikan begitu banyak perhatian untuknya dan kawannya dari Papua. Ketika awal masa kuliah, mahasiswa dari Papua dikumpulkan untuk diberikan pengarahan. Dia ditawari untuk mengikuti berbagai les untuk mata kuliah awal seperti kalkulus dan fisika dasar secara gratis.

Namun jika berbicara tentang awal masa kuliahnya di ITS, bu Isma, panggilan akrab Junus pada ketua BAAK pada saat itu adalah sosok yang paling berkesan untuknya. Baginya, Isma tidak sekedar dosen biasa. Namun juga sosok ibu yang menggantikan orangtuanya yang jauh.

Isma memahami betul jika banyak mahasiswa Papua yang susah bertahan di ITS baik karena beban kuliah yang sangat besar, maupun karena tekanan pergaulan. “Beliau juga selalu bertanya secara pribadi apa ada masalah, apa beasiswanya sudah cair. Bahkan kalau belum, Bu Isma bersedia memberikan pinjaman,” kenangnya dengan penuh sayang.

Junus mengaku jika beban tugas dan mata pelajaran di Papua memang tidak ada apa-apanya dibandingkan sekolah di Jawa. Bertumpuk tugas dan hantaman kuis dengan nilai mengenaskan tentunya memicu rasa frustasi yang besar dari mahasiswa asal papua. “Apalagi di Universitas papua, banyak jam kosong dan hari libur,” ungkapnya sambil terkekeh.

Sayangnya hal ini juga membuat banyak mahasiswa dari papua sulit bertahan di ITS. Dari angkatan 2012 saja, Junus mengaku banyak yang akhirnya pulang ke Papua atau pindah kuliah di Universitas Widya Kusuma (UWK) yang memiliki lebih banyak mahasiswa papua.

Di angkatannya 2013, kini tinggal dia dan temannya dari Jurusan Perencanaan Wilayah Kota (PWK) yang masih sanggup bertahan. Dua yang lain memutuskan untuk pindah ke UWK, satu lagi malah sudah pulang ke Papua.

Rasa frustasi mereka seringkali bertambah buruk  karena tidak semua mahasiswa papua dapat berbaur dengan mudah bersama mahasiswa lain. Akhirnya banyak yang malas berangkat kuliah, atau lebih parah lagi, melampiaskan rasa frustasinya ke minuman keras.

Hal itu juga yang sering memicu permasalahan mahasiswa Papua dengan warga sekitar. Contohnya saja di Yogyakarta. Mahasiswa papua seringkali tidak berteman dengan mahasiswa lain diluar papua, tidak ada juga sosok yang bisa memotivasi mereka seperti Isma. Tekanan akademis, pergaulan dan rendahnya motivasi akhirnya menjerumuskan mereka ke kebiasaan buruk.

Memang berbaur dengan mahasiswa lain dari Jawa adalah tantangan tersendiri. Junus beruntung karena dari kecil dia hidup di Jayapura yang menjadi rumah bagi banyak pendatang dari Jawa dan Sulawesi. Hidup bersama masyarakat Jawa dan bagian Indonesia lain sudah bukan menjadi hal asing baginya.

Namun, memang terkadang banyak hal kurang mengenakkan yang disampaikan oleh sesama temannya. Ketika masih awal memasuki kuliah, Junus mengenang sebuah momen menyebalkan ketika salah seorang pengajar ITS bertanya apa mata uang papua masih rupiah atau sudah dolar.

Di Jawa, banyak juga yang tidak tahu kalau masyarakat Papua sudah punya jalan raya, punya kota sekelas kota besar di Jawa. “Dan sepertinya banyak juga yang tidak tahu orang Papua sudah tidak pakai koteka sejak lama,” sindirnya.

Junus juga mengaku sempat terintimidasi mahasiswa lain yang berasal daeri daerah Jakarta dan sekitarnya. Namun seiring berjalannya waktu, dia menyadari tidak terdapat perbedaan signifikan antara orang Jakarta dan orang daerah. “Dari tingkat kepandaian ya sama saja. Kalau gaya hidup itu baru beda,” ujarnya sambil tertawa.

Namun hal itu berbeda dengan mahasiswa Papua dari daerah pegunungan. Mahasiswa papua dari daerah pegunungan jarang menemui masyarakat daerah lain, sehingga mereka butuh waktu lama untuk beradaptasi.

Ketika Junus sudah mampu membentuk ikatan persahabatan dengan teman kuliah lain, mahasiswa ini biasanya malah mengurung diri dengan pikiran negatif dan membatasi pergaulannya. “Mereka bilang orang sini sering rasis, padahal ya mereka sendiri yang kurang membuka diri,” ungkapnya.

Hal ini juga sering memusingkan pihak ITS. Junus mengenang, Isma sendiri sering turun tangan untuk membujuk mahasiswa Papua untuk berangkat kuliah. Tak tanggung, Isma  juga ikut mencari dan menelepon jika ada mahasiswa papua yang tidak pernah berangkat kuliah. “Saya dan teman saya yang marah. Kami bilang biarkan saja bu! Orang kurang ajar seperti itu tidak perlu dicari,” kenangnya dengan geram.

Di lingkup pergaulan, hal ini juga seringkali mendapat sorotan. Di kegiatan pengkaderan, baik dirinya maupun teman-temannya seringkali dianggap tidak aktif karena jarang berkumpul dengan angkatan atau kakak kelas. “Kita sudah punya cukup tekanan tanpa ditambah tekanan dari senior dan pengkaderan,” candanya.

Namun, dia mengakui jika salah satu cara untuk meredam rasa frustasi akibat kuliah adalah dengan menemukan teman untuk bermain maupun belajar. Junus sendiri telah berhasil menemukan motivasi ketika berkawan dengan dua sahabatnya dari daerah Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan mahasiswa Batak asal Sumatera Utara. “Kami sering dipanggil geng Sabang-Merauke karena berasal dari ujung barat dan timur Indonesia,” celetuknya.

Teman-temannya ini yang menjadi sandarannya untuk terus bertahan di ITS meskipun harus banyak mengejar ketertinggalan. Selain itu, ada juga sosok Wawan Ardiyan S ST MT yang mengajarnya dalam mata kuliah komunikasi arsitektur. Ketika belajar di kelas Wawan, Junus mengaku sangat gugup karena dia sama sekali belum pernah belajar gambar persepektif di sekolahnya.

Alih-alih memarahinya, Wawan dengan telaten mengajari Junus cara menggambar perspektif dengan benar. Hal tersebut adalah momen yang sangat dihargai oleh mahasiswa penyuka travelling ini. “Dari banyak cerita yang saya dengar, sepertinya ITS termasuk yang paling mendukung dan kondusif untuk mahasiswa papua,” akunya.

Namun butuh usaha dan kemauan keras bagi mahasiswa papua, terutama dari daerah pedalaman untuk bisa bertahan di institusi dengan beban akademis yang jauh berbeda dengan kampung halamannya. Junus sendiri mengaku beberapa kali terpikir untuk menyerah dan pindah kampus saja. “Pemda hanya mensyaratkan kita pulang bawa ijazah. Tidak peduli ijazah S1, D1 atau di kampus lain,” ujarnya.

Namun rasa frustasinya akhirnya takluk dengan harga dirinya. Kehidupan merantau di ITS adalah jalan hidup yang dipilihnya meskipun orangtuanya dahulu memintanya kuliah di papua saja. Junus tidak mau menjilat ludahnya sendiri hanya karena lelah dengan kuliahnya. “Untuk itulah saya tidak mau pulang sebelum sukses,” ungkapnya.

Kini Junus akan segera memasuki semester tujuh, yang berarti masa studinya tinggal satu tahun lagi di ITS. Menengok kebelakang Junus merasa bangga karena berhasil bertahan saat banyak teman-temannya telah mengibarkan bendera putih.

Junus mengaku indeks prestasinya memang masih tidak special jika dibandingkan temannya yang sudah banyak mencapai indeks prestasi Cum Laude. Namun mereka juga tidak melalui jalan menanjak yang dipilihnya.

Hidup bermodal tekad, mengayuh jalan dengan kerja keras dan keringat. Menjembatani perbedaan, mengikat tali persahabatan. “Dan tentunya menjadi manusia yang lebih kuat dari sebelumnya,” pungkasnya sembari tersenyum. 


Catatan:
  1. Tulisan ini awalnya dibuat untuk tulisan feature untuk Majalah ITS Stories, project ITS Online bersama BIBV ITS. Namun karena kendala dengan birokrasi, akhirnya kisah ini belum bisa naik.
  2. Karena saya juga tidak yakin apakah tahun depan saat si Junus lulus (insyaallah) berita ini akan terbit, saya memutuskan post disini.

2 komentar: