Merakit Mimpi Dari Bumi Cenderawasih: Kisah Mahasiswa Papua di ITS
Dari timur mereka berangkat, dengan sekantong mimpi dan
segenggam tekad. Kolam susu dan tanah madu mereka tinggalkan, untuk segulung
ijazah dan sebongkah kebanggaan. Dari timur mereka berhijrah menyentuh barat.
Dan di Kampus ITS ini, kisah putera Jayapura ini dimulai.
Hitam kulit keriting rambut aku papua, biar nanti langit
terbelah aku papua.
Lirik lagu Tanah Papua karya Endo Kondologit ini
nampaknya sangat tepat menggambarkan sosok Junus Martin Alberto Bareck,
mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dari Papua. Berjalan dengan
pakaian rapi dan langkah percaya diri, Junus menembus gerombolan mahasiswa lain
yang memiliki ciri fisik yang berbeda dengannya.
Meskipun tak berkulit sawo matang dan berambut ikal layaknya
masyarakat Indonesia kebanyakan, Junus tidak pernah terlihat kikuk. Dengan logatnya
yang khas Indonesia timur dan cara berbicaranya yang ekspresif, Junus
menceritakan mengenai kehidupannya di kampus perjuangan selama tiga tahun
belakangan.
Kisah Junus dimulai di pertengahan tahun 2013 di tanah Raja
Ampat, tempatnya menimba ilmu selama satu tahun terakhir. Saat itu, Junus baru
menerima kabar bahwa dia diterima di ITS Jurusan Teknik Elektro. Tak hanya itu,
Junus juga mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Daerah Papua untuk menimba ilmu
di ITS bersama enam siswa papua lainnya.
Rasa antusias berbalut gugup menyelimutinya, memikirkan
kehidupan baru jauh dari bumi cenderawasih yang menimangnya sejak kecil.
Apalagi, nanti dia juga harus hidup jauh dari orang tua yang masih membujuknya
untuk tinggal.
Maklum, nama ITS tak begitu mentereng di Papua. Apalagi tak
banyak kawannya dari Papua yang cukup punya nyali untuk meninggalkan kampung
halamannya. Kebanyakan temannya masih bahagia hidup bersama dayung dan kano di
perairan Raja ampat. Memungut dolar dan euro dari turis yang datang dari jauh
untuk mencicipi secuil surga di bagian paling timur Indonesia.
Namun, Junus memiliki pemikiran berbeda. Waktu itu, putera
semata wayang ini masih dibungkus idealisme dan hasrat untuk membuktikan diri. Bayangan
mampu membawa pulang gelar sukses di tanah orang begitu membuai hingga tekadnya
membulat untuk melenggang.
Namun beda harapan, beda lagi dengan kenyataan. Bulan
awalnya menginjakkan kaki di ITS adalah saat yang paling menguji kekukuhan
mimpinya. Ketika pertama menjalani tahap awal pengenalan di ITS, Junus mengaku
dihantam rasa tidak percaya diri dan kegugupan yang hebat.
Hal ini karena dia minder dengan kamampuan akademisnya dibanding
teman seangkatannya dari Jawa. Maklum, membandingkan pendidikan sekolah di Jawa
dan Papua memang seperti membandingkan Langit dan Bumi.
Bila di Jawa siswa kelas tiga SMU sudah bangun dari liburnya
dan mulai pengayaan ujian nasional, di Raja Ampat Junus harus berkutat dengan
buku biologinya seorang diri karena tidak ada guru biologi di sekolahnya.
Jam yang harusnya digunakan untuk belajar juga acapkali
diberhentikan karena banyak alasan. Mulai dari guru yang tidak menghadiri jam
mengajarnya, hingga demonstrasi dari forum pembela Papua Barat Merdeka yang
acapkali memutus jalan Junus ke sekolahnya.
Setelah berdiskusi dengan Dr Ismaini Zain MSc, ketua BAAK
waktu itu, Junus memutuskan untuk bertolak dari Jurusan Teknik Elektro ke
Jurusan Arsitektur. Dia mengaku khawatir dengan kualitas pendidikannya di Raja
Ampat, dia tidak akan mampu mengejar ketertinggalannya dengan mahasiswa lain
dari Jawa.” Apalagi Jurusan Teknik Elektro memiliki reputasi membuat botak
mahasiswanya,” ujarnya. Dia mengaku tidak menyesal dengan keputusannya. “Malah kalau
saya tetap di Teknik Elektro, saya mungkin sudah hengkang dari ITS sejak lama,”
ucapnya disambut dengan kelakar tawa.
Menurutnya, tidak banyak kampus seperti ITS yang memberikan
begitu banyak perhatian untuknya dan kawannya dari Papua. Ketika awal masa
kuliah, mahasiswa dari Papua dikumpulkan untuk diberikan pengarahan. Dia
ditawari untuk mengikuti berbagai les untuk mata kuliah awal seperti kalkulus
dan fisika dasar secara gratis.
Namun jika berbicara tentang awal masa kuliahnya di ITS, bu
Isma, panggilan akrab Junus pada ketua BAAK pada saat itu adalah sosok yang
paling berkesan untuknya. Baginya, Isma tidak sekedar dosen biasa. Namun juga
sosok ibu yang menggantikan orangtuanya yang jauh.
Isma memahami betul jika banyak mahasiswa Papua yang susah
bertahan di ITS baik karena beban kuliah yang sangat besar, maupun karena
tekanan pergaulan. “Beliau juga selalu bertanya secara pribadi apa ada masalah,
apa beasiswanya sudah cair. Bahkan kalau belum, Bu Isma bersedia memberikan
pinjaman,” kenangnya dengan penuh sayang.
Junus mengaku jika beban tugas dan mata pelajaran di Papua
memang tidak ada apa-apanya dibandingkan sekolah di Jawa. Bertumpuk tugas dan
hantaman kuis dengan nilai mengenaskan tentunya memicu rasa frustasi yang besar
dari mahasiswa asal papua. “Apalagi di Universitas papua, banyak jam kosong dan
hari libur,” ungkapnya sambil terkekeh.
Sayangnya hal ini juga membuat banyak mahasiswa dari papua
sulit bertahan di ITS. Dari angkatan 2012 saja, Junus mengaku banyak yang
akhirnya pulang ke Papua atau pindah kuliah di Universitas Widya Kusuma (UWK)
yang memiliki lebih banyak mahasiswa papua.
Di angkatannya 2013, kini tinggal dia dan temannya dari
Jurusan Perencanaan Wilayah Kota (PWK) yang masih sanggup bertahan. Dua yang
lain memutuskan untuk pindah ke UWK, satu lagi malah sudah pulang ke Papua.
Rasa frustasi mereka seringkali bertambah buruk karena tidak semua mahasiswa papua dapat
berbaur dengan mudah bersama mahasiswa lain. Akhirnya banyak yang malas
berangkat kuliah, atau lebih parah lagi, melampiaskan rasa frustasinya ke
minuman keras.
Hal itu juga yang sering memicu permasalahan mahasiswa Papua
dengan warga sekitar. Contohnya saja di Yogyakarta. Mahasiswa papua seringkali
tidak berteman dengan mahasiswa lain diluar papua, tidak ada juga sosok yang
bisa memotivasi mereka seperti Isma. Tekanan akademis, pergaulan dan rendahnya
motivasi akhirnya menjerumuskan mereka ke kebiasaan buruk.
Memang berbaur dengan mahasiswa lain dari Jawa adalah
tantangan tersendiri. Junus beruntung karena dari kecil dia hidup di Jayapura yang
menjadi rumah bagi banyak pendatang dari Jawa dan Sulawesi. Hidup bersama
masyarakat Jawa dan bagian Indonesia lain sudah bukan menjadi hal asing
baginya.
Namun, memang terkadang banyak hal kurang mengenakkan yang
disampaikan oleh sesama temannya. Ketika masih awal memasuki kuliah, Junus
mengenang sebuah momen menyebalkan ketika salah seorang pengajar ITS bertanya
apa mata uang papua masih rupiah atau sudah dolar.
Di Jawa, banyak juga yang tidak tahu kalau masyarakat Papua
sudah punya jalan raya, punya kota sekelas kota besar di Jawa. “Dan sepertinya
banyak juga yang tidak tahu orang Papua sudah tidak pakai koteka sejak lama,”
sindirnya.
Junus juga mengaku sempat terintimidasi mahasiswa lain yang
berasal daeri daerah Jakarta dan sekitarnya. Namun seiring berjalannya waktu,
dia menyadari tidak terdapat perbedaan signifikan antara orang Jakarta dan
orang daerah. “Dari tingkat kepandaian ya sama saja. Kalau gaya hidup itu baru
beda,” ujarnya sambil tertawa.
Namun hal itu berbeda dengan mahasiswa Papua dari daerah
pegunungan. Mahasiswa papua dari daerah pegunungan jarang menemui masyarakat
daerah lain, sehingga mereka butuh waktu lama untuk beradaptasi.
Ketika Junus sudah mampu membentuk ikatan persahabatan
dengan teman kuliah lain, mahasiswa ini biasanya malah mengurung diri dengan
pikiran negatif dan membatasi pergaulannya. “Mereka bilang orang sini sering
rasis, padahal ya mereka sendiri yang kurang membuka diri,” ungkapnya.
Hal ini juga sering memusingkan pihak ITS. Junus mengenang,
Isma sendiri sering turun tangan untuk membujuk mahasiswa Papua untuk berangkat
kuliah. Tak tanggung, Isma juga ikut
mencari dan menelepon jika ada mahasiswa papua yang tidak pernah berangkat
kuliah. “Saya dan teman saya yang marah. Kami bilang biarkan saja bu! Orang
kurang ajar seperti itu tidak perlu dicari,” kenangnya dengan geram.
Di lingkup pergaulan, hal ini juga seringkali mendapat
sorotan. Di kegiatan pengkaderan, baik dirinya maupun teman-temannya seringkali
dianggap tidak aktif karena jarang berkumpul dengan angkatan atau kakak kelas.
“Kita sudah punya cukup tekanan tanpa ditambah tekanan dari senior dan
pengkaderan,” candanya.
Namun, dia mengakui jika salah satu cara untuk meredam rasa
frustasi akibat kuliah adalah dengan menemukan teman untuk bermain maupun
belajar. Junus sendiri telah berhasil menemukan motivasi ketika berkawan dengan
dua sahabatnya dari daerah Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan mahasiswa Batak
asal Sumatera Utara. “Kami sering dipanggil geng Sabang-Merauke karena berasal
dari ujung barat dan timur Indonesia,” celetuknya.
Teman-temannya ini yang menjadi sandarannya untuk terus
bertahan di ITS meskipun harus banyak mengejar ketertinggalan. Selain itu, ada
juga sosok Wawan Ardiyan S ST MT yang mengajarnya dalam mata kuliah komunikasi
arsitektur. Ketika belajar di kelas Wawan, Junus mengaku sangat gugup karena
dia sama sekali belum pernah belajar gambar persepektif di sekolahnya.
Alih-alih memarahinya, Wawan dengan telaten mengajari Junus
cara menggambar perspektif dengan benar. Hal tersebut adalah momen yang sangat
dihargai oleh mahasiswa penyuka travelling ini. “Dari banyak cerita yang saya
dengar, sepertinya ITS termasuk yang paling mendukung dan kondusif untuk
mahasiswa papua,” akunya.
Namun butuh usaha dan kemauan keras bagi mahasiswa papua,
terutama dari daerah pedalaman untuk bisa bertahan di institusi dengan beban
akademis yang jauh berbeda dengan kampung halamannya. Junus sendiri mengaku
beberapa kali terpikir untuk menyerah dan pindah kampus saja. “Pemda hanya
mensyaratkan kita pulang bawa ijazah. Tidak peduli ijazah S1, D1 atau di kampus
lain,” ujarnya.
Namun rasa frustasinya akhirnya takluk dengan harga dirinya.
Kehidupan merantau di ITS adalah jalan hidup yang dipilihnya meskipun
orangtuanya dahulu memintanya kuliah di papua saja. Junus tidak mau menjilat
ludahnya sendiri hanya karena lelah dengan kuliahnya. “Untuk itulah saya tidak
mau pulang sebelum sukses,” ungkapnya.
Kini Junus akan segera memasuki semester tujuh, yang berarti
masa studinya tinggal satu tahun lagi di ITS. Menengok kebelakang Junus merasa
bangga karena berhasil bertahan saat banyak teman-temannya telah mengibarkan
bendera putih.
Junus mengaku indeks prestasinya memang masih tidak special
jika dibandingkan temannya yang sudah banyak mencapai indeks prestasi Cum Laude.
Namun mereka juga tidak melalui jalan menanjak yang dipilihnya.
Hidup bermodal tekad, mengayuh jalan dengan kerja keras dan
keringat. Menjembatani perbedaan, mengikat tali persahabatan. “Dan tentunya
menjadi manusia yang lebih kuat dari sebelumnya,” pungkasnya sembari tersenyum.
Catatan:
- Tulisan ini awalnya dibuat untuk tulisan feature untuk Majalah ITS Stories, project ITS Online bersama BIBV ITS. Namun karena kendala dengan birokrasi, akhirnya kisah ini belum bisa naik.
- Karena saya juga tidak yakin apakah tahun depan saat si Junus lulus (insyaallah) berita ini akan terbit, saya memutuskan post disini.
Gak sengaja nyasar ke artikel ini. I should say you did a great job.
BalasHapusJarang ada cover story tentang anak Papua belajar di Jawa.
Thank you for being kind, gorj.
Regards,
@bachtiardo
Halo bachtiar. Terimakasih banyak karena sudah baca dan berkomentar. Secara personal saya juga suka topik ini karena saya harus mengeksplor kesenjangan pendidikan di Jawa dan luar jawa. semoga next time bisa mengeksplor topik ini lebih dalam
Hapussalam,
golda